Rabu, 29 Agustus 2018

Resensi Novel


Selamat datang di blog saya.. 

Berikut ini resensi dari novel yang saya pinjam di Perpustakaan Kampus. Saya memohon maaf jika dalam membuat resensi ini banyak kekeliruan. Saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari teman-teman pembaca, agar menjadi perbaikan postingan saya kedepan. Terimakasih. Semoga bermanfaat.



Data / Identitas Buku

a.      Judul : Tarian Badai
b.      Penulis : B.B. Triatmoko, SJ

c.       Penerbit : Penerbit Galangpress

d.      Cetakan : Cetakan pertama, 2012

e.       Kota terbit : Yogyakarta

f.        Ukuran buku : 14,5 x 20,5 cm

g.      Jumlah halaman : 184 halaman



Judul Resensi

“Kisah perjalanan meraih cita-cita dalam balutan cerita percintaan, pengorbanan, dan kesenjangan”



Kepengarangan

B.B. Triatmoko, SJ lahir di Tanjung Balai Karimun, tahun 1965. Masuk novisiat ordo Jesuit tahun 1984 dan ditahbiskan sebagai imam tahun 1994. Tahun 2000-2009 bertugas sebagai direktur Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI) Surakarta. Sejak tahun 2009 menjabat sebagai ketua Yayasan ATMI. Latar belakang pendidikannya mencakup bidang Filsafat, Teologi (Loyola School of Theology, Manila MA 1995), Teknik Manufaktur (Tufts University, Boston), Ilmu Komputer (Harvard University Ext.), dan Manajemen Bisnis (Wallace E. Caroll School of Management, Boston College, MBA 1998).

Beberapa karya yang pernah diterbitkan : (1983) Tanjung Priok, Dahulu, Kini dan Esok yang memenangkan juara III nasional tingkat SLTA; (1984) Mata Ganti Mata, Dunia Akan Buta yang merupakan naskah drama radio; (1998) Bunga Rampai Filsafat Driyarkara diterbitkan dalam perayaan 25 tahun STF Driyarkara, Jakarta; (2005) Antara Kabut dan Tanah Basah yang merupakan refleksi kehidupan dalam bentuk novel wayang.



Ikhtisar isi buku

Novel ini mengisahkan kehidupan mahasiswa yang meliputi percintaan dan perjuangan. Bermula pada kisah kehidupan beberapa aktivis mahasiswa untuk menyuarakan aspirasinya dan beberapa lainnya yang melakukan perjalanan meraih cita-cita di negeri orang telah menyuguhkan kisah yang terasa nyata dan menarik. Berbagai trivia ilmu pengetahuan berkaitan dengan fisika astronomi, bisnis, manajemen, keuangan, dan sentuhan budaya Jawa, khususnya tari-menari telah memperkaya wawasan pengetahuan pembaca. Dengan latar kerusuhan sosial politik dan krisis ekonomi di tanah air, para tokoh dalam novel ini mencapai puncak konfliknya. Setiap tokoh harus menghadapai pertengkaran batin yang mengharuskan kerelaan mereka untuk mengorbankan harta, nyawa, dan segala apa yang dimiliki demi kebebasan yang nyata. Kebebasan ribuan bahkan jutaan rakyat atas belenggu penguasa. Kediktatoran penguasa dalam berbagai bidang kehidupanlah yang telah membangkitkan semangat para mahasiswa untuk menentangnya.



Penilaian

Menurut saya buku ini telah menyuguhkan cerita yang sangat rinci, seolah tak ada satupun detail cerita yang luput dari pengamatan penulis. Novel ini juga telah memadukan kisah percintaan remaja dengan sentuhan situasi politik yang nyata dan cenderung tajam. Banyak pesan moral mampu disampaikan penulis melalui uraian cerita; pengorbanan tanpa pamrih, kesetiaan tanpa keraguan, keberanian dengan kesadaran, dan kepandaian dengan kepedulian.







Situs-situs web UNY :






Buku yang dijadikan sumber resensi :

Tarian Badai, sebuah novel dari B.B. Triatmoko, SJ

Resensi Buku


Selamat datang di blog saya.. 
Berikut ini resensi dari buku yang saya pinjam di Perpustakaan Kampus. saya memohon maaf jika dalam membuat resensi ini banyak kekeliruan. Saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari teman-teman pembaca, agar menjadi perbaikan postingan saya kedepan. Terimakasih. Semoga bermanfaat.

Mitologi dan Toleransi Orang Jawa


Judul : Mitologi dan Toleransi Orang Jawa yang diterjemahkan dari buku Mythology and the Tolerance of the Javanese Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Departmen of Asian Studies, Cornell University, Ithaca, New York, 1965
Penulis : Benedict R O’G. Anderson
Penerjemah : Revianto B. Santosa dan Luthfi Wulandari
Penerbit : Penerbit MataBangsa
Cetakan : Cetakan keempat, 2016
Kota terbit : Yogyakarta
Tebal buku : xviii + 192 halaman

Kepengarangan
Benedict Richard O’Gorman Anderson adalah Guru Besar Studi Internasional di Cornell University. Dia adalah penulus buku Java in the Time of Revolution; Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia; Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, dan The Spectre of Comparisons: Nasionalism, Southeast Asia and the World. Kesemuanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.


Banyak orang Eropa dan Amerika yang menyepakati bahwa orang Jawa sangat menjunjung tinggi toleransi. Kemudian dalam buku ini dijelaskan bahwa toleransi orang Jawa hanya sejauh sistem-sistem keagamaan yang telah diasimilasikan dengan budaya setempat dan hanya jika pemeluknya adalah orang Jawa yang disegani.
Selanjutnya mengenai mitologi, disebutkan bahwa hal inilah yang membedakan masyarakat Jawa dengan masyarakat Barat. Terdapat mitologi religius yang menggambarkan rona kehidupan orang Jawa, yaitu mitologi wayang Jawa. Namun kemudian banyak yang menafsirkan wayang hanya sebagai pentas moral sembarang antara Kebaikan dan Kejahatan. Hal ini sebenarnya tergantung dari sudut pandang penikmat wayang itu sendiri.
Dalam masyarakat Jawa terdapat tatanan hierarkis yang tidak memiliki sistem kasta, hanya menyerupai gagasan murni kasta. Setiap tataran atau golongan menjalankan fungsinya agar dapat saling melengkapi tataran lainnya. Pengakuan terhadap setiap tataran hierarkis tersebut bergantung pada kecakapan mereka dalam memenuhi fungsi-fungsi tataran mereka seperti lakon-lakon dalam wayang. Setiap tokoh dalam wayang harus selalu mengindahkan nilai-nilai tokoh tersebut.
Buku ini kemudian menguraikan berbagai kepribadian dan karakteristik dari tokoh-tokoh wayang; Yudistira, Wrekudara (Bima), Arjuna, Kresna, Baladewa, Karna, Kumbakarna, Dahyang Durna, Suyudana, Sumbadra, Kyai Lurah Semar.
Wayang secara umum dapat diterima di berbagai daerah dan kelas masyarakat Jawa. Anak-anak Jawa meneladani moral dan kesadaran estetis dari tokoh-tokoh wayang, sesuai dengan penilaian dan pengharapan mereka. Yang mana pendidikan wayang berkembang dari serangkaian teladan dan contoh mitologis yang nyata dengan beragam jenis psikologi dan sosial yang sangat kontras. Hal inilah yang mengajarkan dan memelihara toleransi masyarakat Jawa.
Selanjutnya dijelaskan mengenai keadaan dewasa ini. Dimana keaslian, moralitas, dan nilai-nilai estetis dari wayang telah kabur karena upaya modernisasi.
Penulis menguraikan kepribadian dan karakteristik tokoh-tokoh pelengkap, kisah Mahabharata versi Jawa, silsilah Mahabharata versi Jawa, serta kisah Ramayana versi Jawa pada bagian apendiks.
Menurut saya buku ini sangat lengkap, berbagai analogi yang mudah dipahami dan gambar tokoh-tokoh wayang ada didalamnya. Buku ini juga dilengkapi dengan penjabaran dari berbagai istilah Jawa yang digunakan. Hanya saja, susunan bahasa agak sulit dipahami.



Situs-situs web UNY :

Buku yang dijadikan sumber resensi :
Mitologi dan Toleransi Orang Jawa yang diterjemahkan dari buku Mythology and the Tolerance of the Javanese Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Departmen of Asian Studies, Cornell University, Ithaca, New York, 1965
Buku ini ditulis oleh Benedict R O’G. Anderson yang diterjemahkan oleh Revianto B. Santosa dan Luthfi Wulandari

Kamis, 19 Mei 2016

GEGURITAN BASA JAWA

GEGURITAN

1.      Gurit anduweni teges : tulisan. Geguritan inggih punika golongane sastra edi (endah) isine yaiku babagan wedharing ati.
2.      Peranganing Geguritan :
a.       Geguritan gagrak lawas
  Migunakake basa jawa kuno; kaperang ing pupuh-pupuh tembang; kawengku dening       guru lagu, guru gatra, lan uga guru wilangan. Geguritan iki klebu golonganing tembang utawa lelagon kang nganggo purwakanthi guru swara.
Paugeran geguritan gagrak lawas , yaiku :
v  Cacahing gatra ora ajeg, lumrahe paling sitik 4 gatra.
v  Cacahing wanda, saben gatrane padha.
v  Dhang-dhing / guru lagu runtut.
v  Ana bebuka “Sun gegurit”
b.      Geguritan gagrak anyar (biyasa kasebut ‘puisi jawa bebas’)
Migunakake basa jawa jaman saiki; ditulis nganggo aksara latin; wis nganggo dluwang; ora kaperang ing pupuh tembang; ora kawengku guru swara, guru gatra, utawa guru wilangan; ora nganggo bebuka “Sun gegurit”.
3.      Prayogane geguritan iku ngemot unsur-unsur, kayata :
a.       Kaendahan (nilai estetis)
v  Pamilihing tembung mentes, nges lan pantes.
v  Nggunakake lelewaning basa.
v  Purwakanthi bisa nambahi endahing swara.
b.      Piwulang / pendhidhikan (nilai edukatif)
Paring patuladhan lan pitutur ingkang sae, migunani kanggo urip ing alam donya
c.       Nuwuhke rasa tresna
Yaiku rasa tresna dhateng sapadha manungsa, lingkungan lan Gusti
d.      Wetah (koheren)
Geguritan kudu wutuh lan nyawiji ing perangan-perangan unsure geguritan, ora bias ngadeg dhewe-dhewe.


SUMBER :
Buku catatan Bahasa Jawa penulis.

TULADHA GEGURITAN

Nglembara ing Wengi
Dening : Eva Rusdiana Dewi, dkk

Wengi sansaya atis
Jangkrik lan kodhok padha nembang
Kahanan wengi kang nyenyet
Pratandha para warga wis mlaku alam impen

      Lintang ing tawang gumebyar anggawe padhang
      Nambah semangat anggonmu mlaku
      Ora tok gagas lungkrahe awakmu anggone makarya mau
Kanggo njaga katentreman desamu

Gubuk cilik iku dadi papan tatamu
Kenthongan ing tangan dadi senjatamu
Ora lali sarung ing pundhak kang dadi tandha tanggung jawabmu
Uruping geni kang dadi pepadhang lakumu

Kabeh tok lakoni kanthi ikhlas
Ora among modhal gumelan
Ora ngarep pawehing liyan
Amarga kabeh prelu kesadharan

Thok… Thok… Thok…
Maling-maling padha lungaa
Lungaa saka desaku
Goleka pakaryan kang luwih migunani tumrape liyan




Mekaten postingan kula ing wanci punika. Matursuwun …

Selasa, 27 Oktober 2015

Cariyos Pengalaman Basa Jawa



PENGALAMAN
Yaiku prastawa ingkang sampun nate kedadosan.
Ciri-ciri cariyos pengalaman:
Ø  Basanipun prasaja lan cetha
Ø  Tembung-tembungipun gampil dipun mangertosi
Ø  Anggenipun cariyos dipunkantheni solah bawa lan polatan mimic
Ø  Obahing salira lan pasuryan kedah luwes
Ø  Wirasa dipunjumbuhaken kaliyan isinipun cariyos (muntab, seneng, sereng)

Tuladha Cariyos Pengalaman
Barang kelap-kelip
Dening : Eva Rusdiana Dewi
Malem Sabtu iku, Tio santé banget. Amarga dhewek’e ora duwe acara apa-apa. Bapak lan Ibune lagi tindakan. Tio mung ndelok TV karo adik’e. Banjur ana suwara “kring-kring. . .kring-kring. . .” Tio lan adik’e ora nggatekake suwara iku , Tio malah nggagas yen suwara iku mung suwara ana ing TV.
Sekitar jam sepuluhan, adik’e Tio uwes mapan turu lan TV ne dipateni. Sabanjure, Tio krungu suwara maneh, “kring-kring. . .kring-kring. . .” Tio wedi lan bingung kudu ngapa. Tio bingung iku suwara apa. Amarga TV ne uwis dipateni. Tio wedi banget, wayah uwis wengi lan Bapak Ibu ne uga durung kondur.
Ana ing ndhuwur meja ana barang kang katon kelap-kelip. Tio san saya wedi. Tio narik kemule rapet-rapet lan ora wani niliki barang apa kang ana ing ndhuwur meja. Nanging suwara iku iseh tetep ana.
Akhire , Bapak lan Ibune Tio kondur. Ibuk e Tio marani Tio sinambi ngendika , “Iki lo hp mu muni kawit mau , kok ora kok angkat?” Banjur Tio takon mangkene, “ Hp kula niki wau wonten pundi Bu?” , “Nang meja” , jawab Ibu.
Saknalika iku Tio lagi reti yen barang kang muni lan kelap-kelip mau jebul hpne dhewe, dudu memedi.



Kadung Klakon
Dening : Eva Rusdiana Dewi
Sawijining dina, Tio diajak Mas Budi lunga menyang Pasar Piyungan.  Tio seneng banget amarga dina iku dina Minggu, pratanda yen Mas Budi lagi wae bar oleh opah anggone nyambut gawe. Mula uwis mesthi yen Mas Budi bakalan mblanjakke Tio.
Sawise tekan Pasar Piyungan, Tio langsung milih-milih katok lan kepilih sing regane Rp100.000,- Nalika iku Mas Budi akon Tio supaya nggunakake dhuwite dhisik,
Banjur Tio lan Mas Budi menyang bengkel, arep nyervisake montor. Tio lan Mas Budi nunggu rada suwe amarga antrene akeh. Sekitar jam 11, montore Mas Budi lekas digarap. Sawise rampung, Mas Budi menyang  kasir arep mbayar opah servis. Nanging Mas Budi njaluk dhuwit Tio dhisik, jarene arep diijoli sawise ana ing ngomah. Saking percayane Tio marang Mas Budi, dheweke langsung maringake dhuwite marang Mas Budi tanpa dipikir-pikir maneh.
Sawise tekan  ngomah, Tio nagih dhuwite marang Mas Budi. Nanging Mas Budi ngomong mangkene, “Lha dhuwit uwis dikenggo yo ora kena dijaluk maneh!”. Waduh-waduh, saknalika iku Tio ngelus dada, amarga ora diblanjakkake Mas Budi nanging malah mbayar opah bengkel montore Mas Budi barang.

Mekaten postingan kula ing wanci punika. Matursuwun …